Pada kesempatan ini, saya ingin berbagi pengalaman tahun pertama saya sebagai mahasiswa S2 di University of Tsukuba, jurusan Applied Physics. Jujur saja, perasaan saya campur aduk: kecewa, namun juga merasa beruntung. Tahun 2020 menjadi tahun yang penuh tantangan bagi banyak orang, termasuk saya, karena pandemi COVID-19 yang mengubah segalanya. Pandemi ini memaksa banyak negara, termasuk Jepang, untuk menerapkan pembatasan ketat, seperti melarang masuknya orang asing dan menghimbau masyarakat untuk tetap di rumah kecuali untuk keperluan mendesak.
Awal Perjalanan di Tengah Pandemi
Saya merasa beruntung tiba di Jepang lebih awal, tepatnya pada akhir Januari 2020, sebelum situasi memburuk. Meski saat itu COVID-19 sudah menjadi perbincangan, dampaknya belum terlalu besar. Namun, ketika memasuki bulan Maret dan April, pembatasan mulai diterapkan, dan aktivitas di luar rumah menjadi sangat terbatas, termasuk untuk riset.
Pada minggu-minggu awal, kehidupan di Jepang terasa normal. Tetapi seiring waktu, keadaan berubah drastis. Jalan-jalan yang biasanya ramai mulai sepi, dan rasa cemas menyelimuti masyarakat. Selama dua bulan pertama (Februari dan Maret), saya lebih banyak membeli makanan dari kantin NIMS untuk makan siang dan supermarket (Kasumi atau Seiyu) untuk makan malam. Tidak jarang saya memanfaatkan diskon di malam hari untuk membeli makanan dengan harga lebih murah, yang tentu sangat membantu menghemat pengeluaran.
Pada saat itu, saya menerima allowance yang lebih kecil karena baru mendapatkan posisi sebagai NIMS Junior Researcher di bulan April. Dengan allowance sekitar 130-140 ribu yen per bulan di bulan Februari dan Maret, saya harus sangat berhati-hati dalam mengelola pengeluaran. Apalagi, saya juga harus membayar tuition fee dan admission fee, yang mengambil sekitar 34% dari gaji saya di tahun pertama. Untungnya, saya mendapatkan tuition fee exemption sebesar 30%, sehingga dapat mengalokasikan dana tersebut untuk keperluan lain. Tahun pertama di Jepang merupakan periode yang sulit dalam hal keuangan, terutama karena banyak pengeluaran terkait pendidikan.
Beradaptasi dengan Perkuliahan Online
Seperti banyak universitas lainnya, University of Tsukuba terpaksa beralih ke perkuliahan online. Terdapat dua jenis kelas: online dan on-demand. Kelas online diselenggarakan secara langsung sesuai jadwal, sementara kelas on-demand sudah direkam sebelumnya dan dapat diakses kapan saja.
Untuk mengumpulkan tugas, universitas menyediakan platform bernama MANABA, sebuah sistem e-learning yang memungkinkan mahasiswa mengakses materi dan mengirimkan tugas. Sebagai seseorang yang terbiasa dengan pertemuan tatap muka, saya sempat merasa kesulitan beradaptasi, terutama karena tidak ada tutorial khusus terkait penggunaan platform ini.
Dampak Sosial dan Emosional
Kebanyakan kegiatan akademik dilakukan secara online, sehingga sulit bagi saya untuk membangun hubungan sosial. Ditambah lagi, saya adalah satu-satunya mahasiswa di bawah bimbingan profesor saya selama tiga tahun pertama (2020-2023), yang tentunya membuat pengalaman ini lebih menantang. Meskipun terkadang merasa kesepian, hubungan saya dengan pembimbing sangat berharga, dan saya belajar banyak tentang kemandirian dan ketekunan dalam riset.
Pertemanan saya selama pandemi terbatas, terutama di NIMS, di mana grup besar kami hanya terdiri dari sekitar 10 orang, dengan interaksi yang lebih sering dilakukan secara online. COVID-19 benar-benar membatasi kesempatan saya untuk mengenal lebih banyak teman dan mengeksplorasi Jepang lebih jauh. Rencana untuk menjalin lebih banyak pertemanan atau mengunjungi tempat wisata harus ditunda.
Refleksi Pribadi
Walaupun tahun pertama penuh dengan tantangan, saya bersyukur karena pengalaman ini mengajarkan saya pentingnya kemandirian dan kemampuan beradaptasi. Di sisi lain, saya juga menyadari betapa pentingnya dukungan sosial dan komunitas, terutama dalam menghadapi masa-masa sulit.